Iklim investasi di provinsi Kalimantan Tengah berjalan sangat lambat. Hal tersebut dikarenakan adanya tumpang tindihnya serta ketidak harmonisan aturan perundang-undangan. Di provinsi Kalimantan Tengah terdapat hasil alam yang sangat besar diantaranya adalah kayu dari hasil hutan, batubara dan emas. Sesuai dengan pasal 33 undang-undang dasar 1945 disebutkan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dalam ketentuan pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Dengan terbitnya undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, maka dalam hal ini kewenangan daerah menjadi semakin besar dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dalam undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi daerah disebutkan bahwa:[1]
“Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan bahwa:[2]
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dalam ketentuan undang-undang tersebut diatas, antara pemerintah pusat dan daerah mempunya kewenangan masing-masing. Dengan terbitnya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara, maka usaha pertambangan memasuki babak baru dengan diundangkannya undang-undang Pertambangan Mineral dan batubara tersebut. Dalam undang-undang pertambangan, penanam modal/investor harus mengacu pada ketentuan undang-undang tersebut untuk memperoleh izin atau hak pertambangan. Tetapi selain undang-undang pertambangan tersebut terdapat undang-undang lain yang harus diperhatikan untuk dapat memperoleh izin usaha pertambangan diantaranya adalah undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, jika daerah atau kawasan yang akan dilakukan penambangan adalah kawasan hutan serta undang-undang No. 5 tahun 1960 Tentang Agraria jika didalamnya terdapat tanah hak ulayat atau adat. Menurut ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa
“Wilayah hutan adalah yang ditunjuk dan atau yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”.
Khusus untuk daerah hutan maka jika akan dilakukan penambangan harus memperoleh ijin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang sebagian besar adalah hutan, pemerintah (khususnya departemen kehutanan) dalam perencanaan kehutanan menetapkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah masuk dalam kawasan kehutanan. Terdapat perbedaan yang sangat besar dalam penentuan suatu kawasan hutan. Dalam hal ini, Pemerintah pusat menentukan bahwa provinsi Kalimantan Tengah masuk dalam Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/UM/10/1982. Tetapi dalam hal lain, pemerintah daerah Kalimantan tengah menerbitkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berdasarkan pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang wilayah menetapkan tidak semua provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan tetapi ada yang peruntukannya digunakan sebagai KPPL dan APL. Menilik hal tersebut, terjadi tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena TGHK tidak mempunyai payung hukum. Sedangkan RTRWP Kalimantan Tengah dengan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP pembentukannya didasarkan pada ketentuan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Jadi dalam hal ini ketentuan mana yang harus dipakai bagi penanam modal/investor untuk dijadikan suatu acuan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, menurut penulis Perda No. 8 tahun 2003 lebih bisa dijadikan acuan dan lebih mempunyai kepastian hukum karena mempunyai payung hukum yaitu Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang serta ketentuan pasal 18 ayat 6 UUD 1945. Sedangkan Keputusan Menteri Pertanian No. 759/KPTS/UM/10/1982 tidak mempunyai payung hukum untuk dapat dijadikan dasar bagi penentuan suatu kawasan hutan. Disamping itu, dalam ketentuan pasal 14 ayat 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa:
“pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah melalui proses sebagai berikut:
1. Penunjukkan kawasan hutan;
2. Penataan batas kawasan hutan;
3. Pemetaan kawasan hutan; dan
4. Penetapan kawasan hutan.”
Syarat tersebut sangat mutlak untuk masing-masing pointnya, jadi untuk dapat menentukan suatu kawasan tersebut hutan atau tidak maka prosesnya harus memenuhi unsur dari pasal 14 ayat 2 tersebut dan jika tidak memenuhi unsur tersebut paka penentuan kawasan hutan tersebut menjadi batal demi hukum.. Selanjutnya berdasar pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah propinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jadi sangat jelas bahwa Perda No. 8 Tahun 2003 tetap dapat dijadikan acuan untuk penentuan suatu kawasan hutan atau bukan hutan.
Jadi dalam hal ini terjadi tumpang tindih dan ketidakharmonisan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penentuan kepastian kawasan hutan mempersulit investor atau masyarakat setempat untuk mengembangkan daerahnya. Dalam ketentuan pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa:
“Jenis Hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah”.
Dari ketentuan pasal tersebut sangat jelas bahwa Keputusan menteri tidak masuk dalam kerangka ketentuan perundang-undangan. Jadi yang menjadi pertanyaan dengan adanya undang-undang No. 10 Tahun 2004 tersebut adalah apakah suatu keputusan menteri merupakan Regelling atau Beschikking? beschikking merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dibidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa, bersifat nyata, individual, selesai sekali (final, einmalig), tidak mengikat umum. Beschikking meliputi surat keputusan, ketetapan dan Keputusan tata Usaha Negara. [3]Peraturan daerah hanya dapat dibatalkan oleh peraturan presiden dan bukan berarti pula suatu keputusan menteri secara hirarki lebih tinggi dari suatu perda dan bukan berarti pula suatu keputusan menteri dapat membatalkan Perda. Karena jika mengacu pada undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah maka hanya terdapat tiga tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota. Jadi sangat jelas dengan demikian siapa yang berwenang menerbitkan Regelling adalah 3 tingkatan pemerintahan tersebut. Di Provinsi Kalimantan tengah, Perda No. 8 Tahun 2003 telah ditetapkan, Untuk itu selama ketentuan tentang RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah belum disetujui oleh DPR maka Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP tetap berlaku selama belum dicabut oleh perpres dan perda tersebut dapat dijadikan dasar untuk kepastian hukum bagi penanaman modal atau investasi dibidang pertambangan.
Terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antar lembaga Negara membuat kebingungan, untuk itu diperlukan pembaharuan hukum antar lembaga Negara agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan-peraturan tersebut. Selain itu terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan antara kehutanan, pertanahan dan pertambangan membuat iklim investasi tidak berjalan dengan baik dan menimbulkan kebingungan bagi investor.
0 comments:
Posting Komentar