MASALAH KEWARGANEGARAAN SUATU KAJIAN HUKUM TATA NEGARA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No.62 TAHUN 1958

Kamis, 10 Maret 2011

BAB  I

PENDAHULUAN



I.   Latar Belakang
Kewarganegaraan (citizenship) merupakan keahlian kepada sebuah komuniti politik (yaitu sebuah bandar pada asalnya, tetapi kini lebih biasa merupakan sebuah negara) yang membawa hak-hak penyertaan politik. Seorang individu yang mempunyai keahlian ini dipanggil warga negara.
Biasanya, kewarganegaraan bersepadan dengan kerakyatan (nationality). Bagaimanapun, kedua istilah ini harus dibedakan. Seorang warga negara mempunyai hak-hak untuk menyertai bidang politik negerinya, seperti mengundi ataupun menjadi calon wakil rakyat, sedangkan seorang rakyat tidak seharusnya mempunyai hak-hak tersebut, walaupun biasanya mereka mempunyainya.
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warga negara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara dengan warga negara, negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.[1]
Masalah kewarganegaraan merupakan salah satu kajian studi kenegaraan (HTN). Dalam pengertian umum, kewarganegaraan menjadi salah satu unsur keberadaan suatu negara (algamene staatsleer).  Seperti kita ketahui, bahwa unsur-unsur negara terdiri dari wilayah, adalah rakyat yang identik dengan warga negara, dan pemerintahan  yang berdaulat sebagai unsur konstitutif serta pengakuan dari negara lain sebagai unsur deklaratif.[2]
     Warga negara adalah Staatsangehoringen Nationals, anggota organisasi negara nasional.[3]  Dilihat dari sudut yuridis, kewarganegaraan dapat disebut suatu status hukum kenegaraan, yaitu suatu kompleks hak dan kewajiban di lapangan hukum khususnya hukum publik (hukum negara) yang dimiliki oleh orang yang memiliki keanggotaan suatu negara tertentu dan tidak dimiliki oleh orang asing.[4] Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa betapa penting masalah kewarganegaraan dalam konteks kenegaraan.  Oleh karena itu, pengaturan warga negara harus diatur dalam UUD.
     Hukum tata negara sebagai salah satu kajian ilmu hukum merupakan suatu kajian yang mencakup masalah kenegaraan dari sudut pandang yuridis, salah satunya adalah masalah kewarganegaraan.  Masalah kewarganegaraan dalam hukum tata negara mencakup masalah  mengenai siapa warga negara dan siapa yang dianggap sebagai orang asing, pengertian penduduk serta hak dan kewajiban warga negara.  Dalam arti yang lebih luas mencakup permasalahan mengenai bagaimana cara memperoleh status kewarganegaraan, tentang bagaimana kehilangan status kewarganegaraan, cara memperoleh kembali status kewarganegaraan, serta termasuk juga masalah tentang bagaimana cara menghilangkan terjadinya bipatride dan apatride sebagai doktrin umum dalam masalah kewarganegaraan.  Seperti yang dikatakan oleh Prof. Gautama, dapat dikatakan dengan tidak terlalu dilebih-lebihkan bahwa sejak dilahirkan hingga keliang kubur status warga negara atau bukan merupakan suatu hal yang penting bagi setiap orang.  Kelahiran sebagai bayi asing atau bukan mempunyai akibat atas hukum yang berlaku bagi diri sang bayi tesebut,  baik dalam lingkungan hukum perdata maupun dalam lingkungan hukum publik.[5]
     Sebagai kajian hukum tata negara, pengaturan tentang kewarganegaraan terdapat dalam Undang Undang Dasar Negara Rupublik Indonesia 1945 (sampai dengan mandemen ke-4) Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk pasal 26.  Pasal ini mengalami perubahan dimana semula terdiri dari 2 pasal, namun dalam amandemen ke-2 dirubah dan ditambah menjadi 3 pasal.  Dalam perkembangannya bahkan hingga saat ini pasal tersebut  menimbulkan polemik terutama berkaitan dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 26 ayat 1 yang dipertahankan hingga saat ini.  Selain itu, terdapat pula UU no. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Repulibk Indonesia yang mengatur masalah kewarganegaraan.  Namun sekali lagi, undang-undang inipun menimbulkan polemik bahkan sampai akhirnya memunculkan wacana pembaharuan akan undang-undang ini. 

II.  Pokok Permasalahan
     Dalam penyusunan makalah ini, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas penulis adalah sebagai berikut   :
1.   Apakah masalah kewarganegaraan termasuk dalam kajian hukum tata negara ?
2.   Bagaimana juga pengaturannya dalam UU no. 62 Tahun 1958 beserta permasalahannya ?

III. Tujuan Penulisan
Dalam Penyusunan makalah ini penulis bertujuan untuk mengetahui :
1.      Untuk mengetahui apakah masalah kewarganegaraan masuk dalam kajian hukum tata negara
2.      Mengetahui bagaimana pengaturanya dalam ketentuan UUD NRI (sampai amandemen ke-4)
3.      Bagaimana pengaturanya dalam ketentuan Undang-undang No.62 tahun 1958

IV.  Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif di mana pokok permasalahan dijawab melalui literatur atau kepustakaan yang bersifat normatif. Pembuatan makalah ini juga bersifat eksplanatoris[6] di mana makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan lebih dalam mengenai apa dan bagaimana masalah kewarganegaraan dalam kajian hukum tata negara yang ditinjau dari Undang-undang No.62 Tahun 1958 Tentang kewarganegaraan. Selain itu, penulis juga memanfaatkan informasi serta referensi  lain  yang ada berkaitan  dengan tema penyusunan makalah ini.



[1]Prof. Dr.Jimly Assiddiqie., Kewarganegaraan Republik Indonesia: warga negara dan kewarganegaraan./http://hukumonline.com/php/
[2]Unsur Konstitutif merupakan unsur yang harus melekat dalam setiap Negara, artinya unsur tersebut harus dipenuhi untuk adanya suatu Negara. Sedangkan unsur deklaratif hanyalah unsur yang bersifat sekunder, artinya bila tidak terpenuhi bukan menjadi masalah untuk dapat dikatakan adanya suatu Negara.

[3]G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Jakarata: Timur Mas NV, 1955)., Hal.106. Sebagaimana dikutif Dalam Tulisan Fatmawati, “Pembaharuan Hukum terhadap Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pembaharuan Terhadap Pasal 26 ayat 1 UUD NRI 1945”. Hal.2.

[4]Fatmawati, “Pembaharuan Hukum Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tentang Kewarganegaraan republic Indonesia, Pembaharuan Hukum Terhadap pasal 26 ayat 1 UUD NRI”, Hal.2.

[5]Dikutip dalam Buku Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, (Jakarta: PSHTN FHUI, 1996).hal.4.

[6]Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4. 


BAB II
PEMBAHASAN

II. 1.    Masalah Kewarganegaraan Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
     Masalah kewarganegaraan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu negara untuk menentukan siapa warga negara dan orang asing.  Berhasil tidaknya suatu negara dalam mewujudkan cita-citanya tergantung banyak dari peran aktif warga negaranya.[1]   Untuk itu diperlukan suatu peraturan tantang kewarganegaraan yang mengatur mengenai setiap warga negara dan orang asing. Dalam arti yang lebih luas mencakup permasalahan mengenai bagaimana cara memperoleh status kewarganegaraan, tentang bagaimana kehilangan status kewarganegaraan, cara memperoleh kembali status kewarganegaraan, serta termasuk juga masalah tentang bagaimana cara menghilangkan terjadinya bipatride dan apatride sebagai doktrin umum dalam masalah kewarganegaraan.
     Telah dikemukakan diatas bahwa sebagai pendukung dari adanya suatu negara, warga negara (atau maksudnya disini adalah masalah kewarganegaraan) menjadi hal yang penting. Dalam arti khusus, yaitu kajian tentang masalah kewarganegaraan suatu negara tertentu, masalah kewarganegaraan termasuk dalam kajian hukum tata negara.  Dilihat dari sudut yuridis, kewarganegaraan dapat disebut suatu status hukum kenegaraan, yaitu suatu kompleks hak dan kewajiban dilapangan hukum khususnya hukum publik (hukum negara) yang dimiliki oleh orang asing.[2]  Sebagai kajian hukum tata negara, kewarganegaraan berkaitan pula denga hal-hal seperti hubungan jabatan negara atau  pemerintahan dengan negara (jabatan MPR, DPR, Kepresidenan, dan jabatan pemerintahan lainnya), hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak asasi maupun hak dan kewajiban yang dijamin atau ditentukan dalam konstitusi atau UUD.[3]  Hal tersebut semua termasuk dalam kajian hukum tata negara.
     Dalam hukum positif di Indonesia pengaturan tentang masalah kewarganegaraan dapat dilihat dalam  :
1. UUD NRI 1945 (sampai amandeman ke-4) Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk pasal 26 yang terdiri dari 3 ayat.       
2. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, seperti UU no. 4 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya UU no. 2 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Perjanjian antara RI dan RRC mengenai soal Dwikewarganegaraan, Kepres RI no. 7 Tahun 1971 Tentang Pernyataan Digunakannya Ketentuan Dalam UU no. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara untuk menetapkan kewarganegaraan RI bagi penduduk Irian Barat, serta ketentuan yang diberlakukan bagi penduduk Timor Timur yaitu SE Menkeh no. M.09.UM.01.06 Tahun 1986 Tentang SKBRI bagi penduduk Timor Timur.[4] Penyusunan makalah ini hanya akan membahas pengaturan yang terdapat dalam UUD NRI 1945 padal 26 UU no. 62 Tahun 1958.

II.2 Pengaturan Tentang Kewarganegaraan Dalam UU no. 62 Tahun 1958 Beserta Permasalahannya
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 26 UUD NRI 1945 seta sesuai dengan apa yang juga diperitahkan pada ayat 3 pasal tersebut, maka perlu dibentuk suatu undang-undang yang mengatur tentang warga negara dan penduduk.  Undang-undang yang berlaku saat ini adalah UU no. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang terbentuk pada masa berlakunya UUDS RI 1950.  Undang-undang tersebut tetap berlaku hingga saat ini berdasarkan Aturan Peralihan pasal I UUD NRI 1945.  Undang-undang ini pada dasarnya terdiri dari pokok-pokok sebagai berikut   :

1. Mengatur tentang siapa-siapa yang menjadi warga negara RI.

  Dalam pasal 1 dapat dilihat bahwa warganegara RI adalah[5]:
a. Orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga negara RI.
b. Orang yang lahir dan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ayahnya yang warga negara RI.
c. Anak yang lahir dalam 200 hari setelah ayahnya yang warga negara RI meninggal.
d. Orang yang waktu lahir ibunya adalah warga negara RI, sedang ia tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ayahnya.
e. Orang yang waktu lahir ibunya dalah warga negara RI, sedang ayahnya patride atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya.
f. Orang yang lahir di wilayah RI sedang orang tuanya tidak diketahui.
g. Anak yang diketemukan di wilayah RI sedang orang tuanya tidak diketahui.
h. Orang yang lahir di wilayah RI, sedang orang tuanya apatride atau selama kewarganegaraannya tidak diketahui.
i. Orang yang lahir di wilayah RI dan waktu lahirnya mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya, dan selama ia tidak memperoleh kewarganegaraan ayah atau ibunya.
j. Orang memperoleh kewarganegaraan berdasarkan undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan diatas ada hal yang dapat kita simpulkan berkaitan dengan azas yang dianut oleh undang-undang ini.  Dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini menganut azas ius sanguinis.  Dianutnya azas ius sanguinis ini dapat kita lihat dalam ketentuan huruf b, c, d, dan e.  Dianutnya azas ius sanguinis juga tercantum dalam Penjelasan Umum dimana disitu tertulis pertimbangan dianutnya azas ius sanguinis “bahwa keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim.  Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai warga negara di manapun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warga negara itu“.  Juga tertulis bahwa “dalam hal kewarganegaraan undang-undang ini selalu menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu.  Ketentuan ini adalah sesuai dengan paham-paham hukum umumnya berkenaan dengan hukum adat dan hukum kekeluargaan khususnya“. Selain itu terlihat dianutnya azas ius soli secara terbatas yang tercermin dalam ketentuan huruf f, g, h, dan i.
2. Mengatur tentang bagaimana cara memperoleh kewarganegaraan.
Dalam undang-undang ini dapat kita lihat beberapa cara memperoleh kewarganegaraan RI, yaitu   :
a. Karena kelahiran
Kelahiran sebagai dasar dalam memperoleh status kewarganegaraan adalah sudah menjadi hal yang umum dalam permasalahan kewarganegaraan.  Hal ini sesuai dengan azas ius sanguinis. Kewarganegaraan ini diperoleh karena mengikuti staus kewarganegaraan orang tuanya. Bila ada hubungan hukum kekeluargaan anara anak dengan ayahnya, maka ayah yang akan menentukan kewarganegaraan anaknya (Pasal 1 huruf b dan c), kecuali jika ayah tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya karena ia tidak mempunyai kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui. Apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah, maka yang menentukan kewarganegaraan itu adalah ibunya (pasal 1 huruf d).
b. Karena pengangkatan
   Dapat kita lihat dalam pasal 2 yang menyebutkan antara lain:[6]
-  anak yang diangkat adalah anak orang asing yang pada saat diangkat belum berumur 5 tahun.
-   pengangkatan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi orang tua yang mengangkat.  Sekarang ini pengangkatan anak harus dengan penetapan Pengadilan Negeri, tidak cukup dengan akte notaris sebagaimana diatur dalam SEMA no. MA/Pbem/0294/1979 tanggal 7 April 1979.
-   adanya penetapan Pengadilan Negeri yang mengesahkan pengangkatan anak tersebut ditetapkan dalam tenggang waktu 1 tahun sesudah pengangkatan dilakukan.[7]
c. Karena permohonan
   Dapat kita lihat dalam pasal 3 dan 4.  Pasal 3 menyebutkan antara lain :[8]
-   anak yang mengikuti status warga negara ayahnya yang orang asing akibat perceraian oleh hakim diserahkan kepada asuhan ibunya yang warga negara RI, boleh mengajukan permohonan apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
-   permohonan dalam 1 tahun sejak anak tersebut berusia 18 tahun diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI dari tempat tinggalnya.
-  Pengabulan atau penolakan pewarganegaraan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri dan berlaku pada tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
Sedangkan dalam pasal 4 diatur tentang : [9]
-   orang asing yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia yang ayah atau ibunya juga lahir dan tinggal di Indonesia serta orang tersebut tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan ayahnya dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan kepada Menteri Kehakiman.
-   permohonan diajukan dalam 1 tahun sejak orang tersebut berusia 18 tahun.
-   pengabulan atau penolakan pewarganegaraan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri dan berlaku pada tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
d.  Karena naturalisasi
     Naturalisasi dapat diberikan dengan 2 cara, yaitu karena permohonan atau karena diberikan oleh pemerintah.  Dapat dilihat dalam pasal 5 dan 6. Pasal 5 mengatur tentang:[10]
-          pengaturan tentang naturalisasi karena permohonan.
-          syarat-syarat mengajukan permohonan pewarganegaraan.
-          pemohonan diajukan  kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI dari tempat tinggalnya.
-          pengabulan atau penolakan pewarganegaraan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri dan berlaku pada tanggal keputusan Menteri Kehakiman setelah mengucapkan sumpah dan janji setia.
-          bila permohonan pewarganegaraan ditolak dapat mengajukan kembali.
Sedangkan dalam pasal 6 diatur tentang:[11]
-          pengaturan tentang naturalisasi karena diberikan pemerintah.
-          pewarganegaraan diberikan dengan alasan untuk kepentingan negara atau telah berjasa kepada negara oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.[12]
e. Karena perkawinan
Ada dua cara pewarganegaraan bagi seorang isteri yang berstatus sebagai orang asing agar dapat menjadi warga negara mengikuti suaminya, yaitu dengan cara aktif dan cara pasif. Memperoleh secara aktif terlihat dari ketentuan  dalam pasal 7 ayat (1).[13]  Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pewarganegaraan dengan cara ini, yaitu   :
- adanya perkawinan yang sah.
- pada saat menikah isteri berstatus sebagai orang asing dan suaminya berstatus warga negara Indonesia.
- dalam 1 tahun si isteri mengajukan pernyataan keterangan memperoleh kewarganegaraan RI kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI di luar negeri.
- si isteri mempunyai bukti bahwa dengan memperoleh kewarganegaraan RI ia tidak mempunyai kewarganegaraan lain yaitu surat keterangan dari perwakilan negara asalnya.
-   dalam satu tahun sesudah menikah suaminya tidak melepaskan kewarganegaraan RI.  Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa dengan perkawinan tersebut si suami berhak untuk melepaskan kewarganegaraan RI (apabila ketentuan dari negara isterinya membenarkan) untuk menjadi warga negara asing mengikuti isteri. [14]
Sedangkan mengenai cara memperoleh secara pasif dapat dilihat dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 ayat (1).  Pasal 7 ayat (2) ditujukan kepada wanita asing yang kawin dengan pria warga negara Indonesia,  tetapi dalam 1 tahun sesudah perkawinannya tidak aktif menyatakan keterangan memperoleh kewarganegaraan RI kepada Pengadilan Negeri.  Untuk itu diperlukan syarat-syarat :
-          wanita tersebut adalah orang asing.
-          dalam 1 tahun sesudah kawin suaminya tidak menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RI.
-          wanita tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila memperoleh kewarganegaraan Indonesia. [15]
Sedangkan pasal 9 ayat (1) ditujukan kepada wanita asing yang turut memperoleh kewarganegaraan RI karena suaminya memperoleh kewarganegaraan RI.  Dalam hal ini persyaratan yang harus dipenuhi adalah   :
-          adanya perkawinan yang sah antara pria asing dan wanita asing, sahnya perkawinan berdasarkan hukum negara asalnya atau dilakukan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia.
-          wanita bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila memperoleh kewarganegaraan RI dibuktikan dengan surat keterangan dari negara asalnya.
f. Karena kedudukan anak dalam hal kewarganegaraan.
Dalam pasal 13 ayat (1) dan (2) diatur bahwa kewarganegaraan RI yang diperoleh oleh sang ayah (bagi anak yang sah) dan yang diperoleh dari seorang itu (bagi anak luar kawin atau anak sah yang ayahnya telah meninggal dunia sebelum ibunya memperoleh kewarganegaraan RI dengan jalan naturalisasi) berlaku juga pada anak-anak yang pada saat kewarganegaraan itu diperoleh belum berumur 18 tahun. Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan hal ini adalah  :
-          anak tersebut belum berumur 18 tahun
-          bertempat tinggal dan berada di Indonesia hingga berumur 18 tahun, hal ini hendaknya dibuktikan dengan dokumen yang sah yang ia miliki.
-          atau boleh saja bertempat tinggal dan berada di luar Indonesia dengan ketentuan anak tersebut akan atau menjadi stateless (tanpa kewarganegaraan) jika tidak memperoleh kewarganegaraan RI mengikuti orang tuanya.            
g. Karena pernyataan
   Mengenai hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal 7 ayat (1) yang mengatur tentang wanita asing yang menikah dengan pria yang berstatus warga negara Indonesia dapat menjadi warga negara apabila dalam satu tahun menyatakan keterangan untuk itu. [16]
3.   Mengatur tentang bagaimana cara kehilangan kewarganegaraan RI.
     Kehilangan kewarganegaraan dapat terjadi secara aktif dan secara pasif.    Berikut akan dijelaskan  :
a.   Kehilangan kewarganegaraan secara aktif
Adalah kehilangan kewarganegaraan karena pernyataan dari orang yang bersangkutan.  Hal ini diatur dalam pasal   :
  - pasal 8 bagi seorang wanita warga negara RI yang kawin dengan orang asing menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RI dalam 1 tahun sesudah perkawinan itu dilangsungkan.
  -  pasal 12 bagi seorang wanita yang menjadi warga negara RI karena mengikuti suami, tetapi setelah putusnya perkawinan ia menyatakan melepaskan kembali kewarganegaraan RI dalam satu tahun setelah putusnya perkawinan.
  -  pasal 14 bagi seorang anak yang menjadi warga negara RI mengikuti orang tuanya, tetapi setelah berumur 21 tahun ia menyatakan keterangan melepaskan kembali kewarganegaraan RI, pernyataan melepaskan kembali berlaku apabila ia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
b.   kehilangan kewarganegaraan secara pasif.
     Adalah kehilangan kewarganegaraan tanpa harus menyatakan seseorang akan kehilangan kewarganegaraan RI apabila ada peristiwa atau terjadinya peristiwa atau perbuatan hukum tertentu.  Diatur dalam ketentuan  :
  -  pasal 9 ayat (2) bagi wanita dalam status perkawinan yang suaminya kehilangan kewarganegaraan RI.
  -  pasal 18 bagi anak-anak yang belum berumur 18 tahun pada saat orang tuanya kehilangan kewarganegaraan RI.
  -  hal-hal yang diatur dalam ketentuan pasal 17.
4.   Mengatur bagaimana cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI.
    Mengenai hal ini diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut   :
a. pasal 11 yang menetapkan bahwa seorang yang kehilangan kewarganegaraan RI karena perkawinan dapat memperoleh kembali kewarganegaraan RI apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  - mempunyai bukti atau indikasi pernah menjadi warga negara RI
  - perkawinannya telah terputus baik karena perceraian atau karena kematian suami.
  - menyatakan keterangan memperoleh kewarganegaraan RI di luar negeri dalam satu tahun sesudah terputusnya perkawinan.
  - mempunyai bukti bahwa wanita tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan lain apabila memperoleh kembali kewarganegaraan RI.
b.   pasal 16 yang menetapkan bahwa seorang anak yang kehilangan kewarganegaraan RI sebelum 18 tahun karena turut orang tuanya dapat memperoleh kembali kewarganegaraan RI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut   :
  - mempunyai bukti atau indikasi pernah menjadi warga negara RI.
  - menyatakan keterangan kepada Pengadilan Negeri dalam satu tahun sesudah berumur 18 tahun.
-  mempunyai bukti bahwa dengan memperoleh kembali  kewarganegaraan RI tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
c. pasal III Peraturan Peralihan bagi seorang wanita warga negara RI yang kawin dengan orang asing sebelum 27-12-1949 (yang kehilangan kewarganegaraan RI karena pasal 10 (PPPWN) dapat memperoleh kembali kewarganegaraan RI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut   :
  - mempunyai bukti atau indikasi pernah menjadi warga negara  RI.
  - perkawinannya telah terputus karena perceraian atau kematian suami.
  - menyatakan keterangan  memperoleh kembali kewarganegaraan RI kepada Pengadilan Negeri dalam satu tahun setelah perkawinannya terputus.
  - mempunyai bukti bahwa dengan memperoleh kembali kewarganegaraan RI tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
d. Pasal V Peraturan Peralihan bagi orang-orang yang telah ditolah/turut dalam penolakan kebangsaan Indonesia pada masa opsi atau repudiasi antara 27-12-1949 sampai dengan 27-12-1951.  Tetapi pasal ini untuk  masa sekarang tidak dapat digunakan lagi karena waktu yang telah habis, yaitu dalam waktu 1 tahun sesudah berlakunya UU no. 62 Tahun 1958.
e. Pasal 18 jo pasal 1 UU no. 3 Tahun 1976 yang menetapkan bahwa orang-orang yang pernah menjadi warga negara RI tetapi kehilangan kewarganegaraan RI berdasarkan pasal 17 huruf k UU no. 62 Tahun 1958 (tidak pernah melaporkan ke perwakilan RI selama berada di luar negeri) dapat menjadi warga negara apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  - mempunyai bukti atau indikasi pernah menjadi warga negara RI.
  - mempunyai bukti kehilangan kewarganegaraan RI berdasarkan pasal 17 huruf k UU no. 62 Tahun 1958.
  - berada di Indonesia berdasarkan KIM (sekarang berubah menjadi KITAB)
  - menyatakan keterangan kepada Pengadilan Negeri dalam satu tahun sesudah berada di Indonesia.
   Setelah kita melihat peraturan yang ada dalam UU no. 62 tentang Kewarganegaraan RI, kita akan coba melihat beberapa kelemahan-kelemahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul dari peraturan tersebut  :
a. Tentang dasar hukumnya.
  Undang-undang ini disemangati oleh UUDS RI 1950.  Dasarnya berlakunya hanya berdasarkan Aturan Peralihan pasal I UUD NRI 1945.  Artinya undang-undang ini sudah tidak relevan berlaku lagi, bahkan sejak adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana salah satu isinya adalah kembali pada UUD NRI 1945.  Terlebih bila kita lihat bahwa seiring berjalannya waktu, tentunya dibarengi oleh semakin kompleksnya masalah tentang kewarganegaraan.  Hal ini akan membuat hukum jauh tertinggal dibelakang, tak bisa mengikuti perkembangan zaman.
b. Mengenai anak sah yang dilahirkan dari seorang ayah yang berkewarganegaraan asing dan seorang     Ibu yang berkewarga-negaraan RI adalah berkewarganegaraan asing mengikuti ayahnya. Sering terjadi seorang ibu memaksakan kehendak agar anaknya berkewarganegaraan RI.  Alasannya secara psikologis anak tersebut lahir dari rahim seorang wanita warga negara RI dan secara sosiologis dalam kehidupan sehari-hari anak tersebut akan terikat oleh aturan-aturan negara sebagai orang asing.
c. Pengangkatan anak asing oleh warga negara Indonesia yang ditetapkan jangka waktu 1 tahun sesudah pengangkatan untuk disahkan oleh Pengadilan Negeri.
d. Pewarganegaraan dalam pasal 3, 4, 5 dan 6, terkesan dipilah-pilah hanya karena perbedaan subtansi tentang soal umur yang tidak mengandung perbedaaan yang prinsipil.
e. Pengabulan dan penolakan pewarganegaraan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri yang seharusnya oleh Presiden sebagai Kepala Negara.
f. Tentang wanita asing yang menikah dengan pria warga negara hendaknya fleksibel tidak dibatasi jangka waktu satu tahun asalkan perkawinan tersebut telah berlangsung 2 tahun.
g. Tentang anak dari ibu warga negara RI yang karena perceraian atau kematian sang suami diserahkan kepada asuhan ibunya tetap berstatus orang asing. Selayaknya anak tersebut diakui sebagai warga negara RI demi kemanusiaan.
h. Tentang anak warga negara RI yang lahir di negara yang menganut azas ius soli berdasarkan pasal 17 kehilangan kewarganegaraan, tetapi     ingin tetap memiliki kewargane-garaan RI kadang     menimbulkan anggapan mengalami aturan yang sangat rumit, dipersulit, sumber KKN, diskriminatif, dll.
i. Kurang ketatnya peraturan tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI yang rawan akan penyalahgunaan.  Hal ini penting   untuk diperhatikan agar warga negara berhati-hati dan menjaga agar kewarganegaraannya tidak hilang.


[1] Abdullah Bari Azed, Op.Cit., hal.3.
[2] Fatmawati Op.Cit., hal.2.

[3]Bagir Manan,”Pembaharuan Hukum Kewarganegaraan”, Makalah disampaikan Untuk Seminar Nasional,”Hukum Kewarganegaraan dan Hukum Keimigrasian di Indonesia, Kajian dari Aspek Yuridis, Politik, dan hak Asasi Manusia”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Surabaya,1997, 20 September., hal.3.
[4] Ramly Hutabarat 1,”Latar Belakang terbentuknya RUU tentang Kewarganegaraan dan Beberapa Catatan Tentang Bias Gender”., hal.8.

[5] Indonesia, Undang-undang No.62 tahun 1958, Undang-undang tentang Kewarganegaraan., Pasal.1.
[6] Ibid., Pasal.2.

[7] Ramly Hutabarat 2, “Pelaksanaan Undang-undang No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia beserta Permasalahanya”, hal.7.

[8]Indonesia, Op.Cit., pasal.3.
[9] Ibid,. pasal.4.
[10] Ibid., pasal.5.
[11] Ibid., Pasal, 6.

[12] Pembahasan Yang Koonprehensif lihat Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, (Jakarta: PSHTN FHUI, 1996)., hal.26-27.

[13] Indonesia, Op.Cit., Pasal 7 ayat 1.
[14] Ramly Hutabarat 2., Op.Cit.hal.8.
[15] Ibid., Hal.9.

[16] Lihat juga pembahasan dalam makalah tentang cara memperoleh kewarganegaraan karena perkawinan secara aktif.
 

BAB III

PENUTUP

 

III.1.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam tulisan ini, penulis menyimpulkan  :
a.      Warga negara sebagai salah satu pendukung adanya suatu negara menempati posisi yang sangat penting, maka perlu diatur dalam UUD.Kewarganegaraan yang dapat disebut suatu status hukum kenegaraan, yaitu suatu kompleks hak dan kewajiban di lapangan hukum khususnya hukum publik (hukum negara) yang dimiliki oleh orang yang memiliki keanggotaan suatu negara tertentu dan tidak dimiliki oleh orang asing menempatkan sebagai hal yang masuk dalam jangkuan hukum tata negera.
b.      Ketentuan pasal 26 UUD NRI 1945 tetap menetapkan adanya istilah “orang-orang bangsa Indonesia asli : dan orang-orang bangsa lain” yang dalam pelaksanaan RI didalamnya banyak sekali mengandung permasalahan.


III.2.    Saran

Penulis mengajukan saran sebagai berikut   :
a.   Diadakan pembaharuan ketentuan dalam pasal 26 ayat (1) sebagai berikut  :”yang menjadi warga negara adalah mereka yang karena kelahiran dari orang tua yang berkewarganegaraan RI atau orang asing yang mendapat kewarganegaraan berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang warga negara RI”.
b.   Pengesahan pewarganegaraan sebaiknya dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara.Kewarganegaraan yang dapat disebut suatu status hukum kenegaraan, yaitu suatu kompleks hak dan kewajiban di lapangan hukum khususnya hukum publik (hukum negara) yang dimiliki oleh orang yang memiliki keanggotaan suatu negara tertentu dan tidak dimiliki oleh orang asing menempatkan sebagai hal yang masuk dalam jangkuan hukum tata negera.

IV  DAFTAR PUSTAKA

Assiddiqie Jimly., Kewarganegaraan Republik Indonesia: warga Negara dan kewarganegaraan.http://Hukumonline.com/php/

Bari Azed Abdul, Intisari Kuliah Masalah kewarganegaraan, Jakarta : PSHTN FHUI, 1996

................, Reformasi Politik Hukum Kewarganegaraan Sebagai Agenda Pembaharuan Hukum.

Harjono, Hak prerogratif Presiden Dalam Mengabulkan atau Menolak Pewarganegaraan.

Hutabarat, Ramly, Latar Belakang Terbentuknya RUU Tentang Kewarganegaraan dan Beberapa catatan Tentang Bias Gender.

................., Pelaksanaan Undang-undang No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia beserta Permasalahanya.

Indonesia, Undang-undang Dasar republik Indonesia 1945 (sampai Amandemen ke-4).

................, Undang-undang No.62 tahun 1958, Undang-undang tentang kewarganegaraan republik Indonesia.

Manan Bagir, Pembaharuan Hukum Kewarganegaraan.


0 comments:

Posting Komentar